2

Cari Tulisan

Kamis, 26 Mei 2011

Batuka Baruak jo Cigak, Maimbuah Sikua Karo

Refleksi 13 Tahun Reformasi Bidang Demokrasi
Oleh : Hendri Parjiga

”Sssst… jangan terlalu keras mengritik pemerintah, nanti kamu bisa dijemput malam. Dinding, loteng, meja, kursi, dan semua yang ada di ruang ini, bisa mendengar dan bicara. Kalau kritikan kamu itu disampaikan ke penguasa, bisa hilang malam kamu!”

Di Orde Baru, kalimat peringatan seperti di atas sudah tak asing lagi telontar dari mulut seorang kawan, mengingatkan rekannya yang mencoba mengeluarkan kritikan kepada pemerintah atau penguasa.

Peringatan tersebut bukan tidak beralasan. Tak sedikit tokoh vokal harus hilang dari peredaran. Menghilang tidak tahu rimbanya. Karena tidak ada yang mengetahui ke mana perginya, orang-orang menyebutnya hilang malam. Padahal, dalam Pasal 28 UUD 1945 dengan tegas menyatakan, kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang.

”Hilang malam” paling rawan terjadi saat akan pemilu. Ini terjadi dari tingkatan paling bawah (kampung), hingga nasional. Tokoh-tokoh yang dianggap berseberangan politik dengan penguasa (Golkar) dijemput malam oleh aparat. Warga kampung saya, beberapa hari menjelang pemilu sempat heboh. Salah seorang tokoh di kampung tiba-tiba tidak pulang dua malam. Menurut anggota keluarganya, ia dijemput tiga lelaki berbadan kekar dan berambut cepak. Semua warga kampung buncah.

Pada malam ketiga, si tokoh yang dikabarkan hilang, tiba-tiba pulang. Dari fisik, memang terlihat tidak kurang satu apa pun. Tapi batinnya, sepertinya ada yang disembunyikan.

Belum hilang rasa heran warga yang mendatangi rumahnya untuk memberikan empati, tiba-tiba warga dikejutkan dengan pernyataan seorang tokoh pada warga agar dalam pemilu nanti memberi dukungan kepada partai penguasa. Padahal, sebelumnya, semua tahu, dia adalah tokoh tulen PPP yang paling menentang Golkar.

Pers, sebagai corong demokrasi juga dibungkam. Kebebasan pers dibungkam dengan Peraturan Menteri Penerangan No 1/1984 tentang Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP). Dengan adanya SIUPP, sebuah penerbitan pers yang izin penerbitannya dicabut oleh Departemen Penerangan akan langsung ditutup oleh pemerintah. Karena itu, pers sangat mudah ditutup dan dibekukan kegiatannya. Pers yang mengritik pembangunan dianggap melawan pemerintah. Bisa dicabut SIUPP-nya.

Tak mau mengambil risiko, media kompak “membela” pemerintah. Tak peduli, kegiatan tersebut menarik, atau hanya sekadar opok-opok. Tak ubahnya corong pemerintah. Budaya telpon pejabat kepada pemilik media membuat sikap kritis wartawan gugur. Beruntung kondisi tersebut tidak bertahan lama. Pada tahun 1990-an, pers di Indonesia mulai melakukan repolitisasi lagi. Sebelum gerakan reformasi dan jatuhnya Soeharto, pers di Indonesia mulai menentang pemerinah dengan memuat artikel-artikel yang kritis terhadap tokoh dan kebijakan Orde Baru. Akibatnya, tiga majalah mingguan; Tempo, DeTIK, dan Editor ditutup.

Bagaimana sekarang? Dengan terbukanya keran demokrasi, semua orang bebas bicara. Bak air bah yang terbuka sumbatnya, arus informasi dan aspirasi mengalir deras. Orang tidak takut lagi melakukan kritikan terhadap pemerintah. Baik melalui aksi demo dan lewat tulisan.

Hanya saja, seiring perjalanan waktu, kebebasan tersebut mulai salah kaprah. Banyak oknum yang memanfaatkan kondisi dengan mencari keuntungan pribadi. Masyarakat yang merasa mendapat perlakuan tidak senang terhadap sebuah kebijakan, diajak melakukan demo. Anehnya, dari sejumlah aksi demo, orangnya itu ke itu saja. Antipati mulai bermunculan.

Yang terbaru, Kongres PSSI di Hotel Sultan, Jakarta, Jumat (20/5), bernasib seperti kongres di Hotel Premier, Pekanbaru, pada Maret lalu. Yakni, ricuh dan tak menghasilkan apa-apa. Pendukung George Toisutta-Arifin Panigoro yang terkenal dengan nama Kelompok 78 terus berusaha agar jago mereka bisa masuk bursa pencalonan. Padahal, sama dengan Nurdin Halid, Nirwan D Bakrie, nama George dan Arifin jelas-jelas dicekal FIFA.

Kisruh tidak bakarunciangan di tubuh induk organisasi olahraga paling populer tanah air itu menggambarkan betapa bobrok dan salah kaprahnya orang-orang memaknai kebebasan demokrasi di negeri ini. Kubu George dan Arifin yang mengklaim pembawa reformasi di tubuh PSSI, justru melakukan pemaksaan kehendak. Semestinya, George dan Arifin tahu diri. Potret demokrasi di era reformasi benar-benar kebablasan.

Hampir semua ajang pemilihan ketua, seperti munas, mubes, muswil, kongres, selalu menuai masalah. Ricuh. Contoh tak elok itu justru dipertontonkan para petinggi negeri seperti dalam pemilihan calon presiden, gubernur, wali kota/bupati, hingga wali nagari. Perilaku buruk itu kemudian menular ke tingkat parpol, organisasi masyarakat, mahasiswa, profesi hingga organisasi keagamaan sekalipun.

Semua merasa hebat, dan layak menjadi pemimpin. Akibatnya, berbagai cara dihalalkan untuk mencapai tujuan. Saling sikut, hujat dan ancam yang dikenal dengan istilah kampanye hitam, menjadi budaya bangsa ini dalam setiap pemilihan pemimpin di setiap level. Politik uang merajalela. Jangankan untuk pemilihan kepala daerah, pemilihan ketua ormas keagamaan saja, tidak jarang tercium politik uang.

Fenomena itu membuat demokrasi di negeri ini teramat mahal. Semua serba uang. Siapa “beruang”, bisa merebut apa saja. Tidak peduli berkualitas dan berintegritas atau tidak, asalkan bisa memberi kompensasi bagi pemilih. Makanya, di alam demokrasi sekarang, banyak pemimpin-pemimpin berwatak “beruang” mengelola negeri ini.

Pemilihan sosok pemimpin seperti menjual barang dagangan, karena ini zaman democrazy. Politik pencitraan dan uang. Untuk membeli “kendaraan politik” maju sebagai calon kepala daerah saja, bisa miliaran rupiah harganya. Belum lagi uang entertainment, ongkos kampanye dan bagi-bagi uang pada masyarakat. Untuk menjadi gubernur, Mendagri Gamawan Fauzi pernah menyebut minimal habis Rp50 miliar. Sedangkan bupati/wali kota, minimal Rp5 miliar.

Bandingkan dengan gaji wali kota yang hanya Rp 6,2 juta dan gubernur Rp 8,7 juta plus dana taktis sekitar Rp1 miliar setahun, belum bisa menutupi biaya pilkada yang dikeluarkan. Wajar saja, banyak mantan kepala daerah di Sumbar yang kini terjerat kasus korupsi. Seperti dilansir KPK, kepala daerah pilihan rakyat gemar menggunakan uang publik untuk kepentingan pencitraan, biaya kampanye, pendanaan parpol dan bisnis keluarga.

Mahalnya biaya demokrasi liberal itu pula, dari pusat hingga daerah dikuasai kalangan elitis. Jangan harap orang-orang pintar dan berkarakter di Sumbar bisa memimpin negeri ini, mimpi kali ye? Saking mahalnya demokrasi, praktik korupsi beranak pinak. Kini, korupsi itu membiak hingga rakyat badarai. Uang gempa sekalipun, dilibas oknum birokrasi hingga masyarakat di akar rumput.

Sebut saja, hampir semua lembaga formal dan nonformal, tak luput dari politik uang. Bahkan, lembaga demokrasi produk Reformasi, juga tersandera korupsi. Mahkamah Konstitusi saja, tidak luput diterpa kasus suap. Inilah demokrasi prosedural, belum substansial. Demokrasi dibajak kaum oportunis, yang pandai bergonta-ganti warna baju, bendera dan kulit.

Buruk rupa wajah demokrasi Sumbar, tecermin dari hasil penelitian The Habibie Centre pada 2009 lalu. Siti Zuhro bersama Eko Prasojo, dan TA Legowo menyebutkan, perjalanan demokrasi di Sumbar justru suram, kontraproduktif dengan kultur Minang yang egaliter. Fungsi lembaga-lembaga demokrasi lokal mandul, karena telah terkooptasi oleh elite-elite lokal yang pragmatis.

Para peneliti yang juga pakar demokrasi dan otonomi daerah itu menyimpulkan, tumpuan harapan itu kini bergantung pada kekuatan masyarakat sipil yang tergabung dalam lembaga nonpemerintah, ketika peran pilar demokrasi (eksekutif, legislatif, yudikatif dan pers) hingga intelektual kampus mulai redup.

Mantan Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Syafi’i Maarif menilai, citra kepemimpinan pemerintah Orde Baru lebih bagus dari kepemimpinan SBY. Juga lebih efektif. “Terlepas Soeharto banyak dimensi buruknya. Soeharto punya ketegasan dan berani mengambil keputusan,” katanya.

Namun, pria kelahiran Sumpurkudus, Sumatera Barat, 31 Mei 1935 itu, mengakui, pemerintahan Orde Baru juga banyak sisi buruknya. Salah satunya, mematikan kemerdekaan dan demokrasi. “Kalau dari segi kebebasan, lebih baik sekarang. Pers tumbuh subur bak cendawan tumbuh di musim hujan. Namun, dari sisi kepemimpinan, walaupun otoriter, lebih baik kepemimpinan Orde Baru,” tambahnya.

Buya, sapaan akrab Syafi’i Maarif menambahkan, pemerintah di bawah komando SBY tidak tegas dan tidak berani mengambil keputusan dalam menyelesaikan persoalan-persoalan yang melanda bangsa ini. “Kepemimpinan SBY hari ini setengah gagal,” kata dia.

Kalau begitu, secara umum kondisi reformasi tak ubahnya seperti Orde Baru. Bak kata pepatah Minang, “batuka baruak jo cigak, maimbuah lo sikua karo”. Sansai kito. (***)
(Padang Ekspres,Rabu, 25/05/2011 )

0 komentar:

Posting Komentar